Seperti telah diketahui, agama Islam
mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya ; hubungan manusia dengan dirinya
; serta hubungan manusia dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan Penciptanya
tercakup dalam masalah akidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya
diatur dengan hukum akhlak, makanan dan minuman, serta pakaian. Selain itu,
hubungan manusia dengan sesamanya, diatur dengan hukum muamalah dan ‘uqubat (
sanksi ).
Islam telah memecahkan persoalan hidup
manusia secara menyeluruh dengan menitikberatkan perhatiannya kepada umat
manusia secara integral, tidak terbagi-bagi. Dengan demikian, kita melihat
Islam menyelesaikan persoalan manusia dengan metode yang sama, yaitu membangun
semua solusi persoalan tersebut di atas dasar akidah, yaitu asas rohani tentang
kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah, kemudian dijadikan asas
peradaban Islam, asas syariat Islam, dan asas negara.
Syariat Islam telah menopang sistem
kehidupan dan memerinci aturannya. Ada peraturan ibadah, muamalah, dan ‘uqubat.
Syariat Islam tidak mengkhususkan akhlak sebagai pembahasan yang berdiri
sendiri, namun Islam telah mengatur hukum-hukum akhlak dengan anggapan bahwa
akhlak adalah bagian dari perintah dan larangan Allah Swt. tanpa melihat lagi
apakah akhlak harus diberi perhatian khusus, melebihi hukum dan ajaran Islam
yang lain. Bahkan, pembahasan akhlak tidak begitu banyak sehingga tidak dibuat
bab tersendiri dalam fiqih. Para fuqaha (ulama fiqih) dan mujtahid tidak
menitikberatkan pembahasan dan penggalian hukum dalam masalah akhlak.
Dalam kitab-kitab fiqih yang meliputi
hukum syara’ tidak ditemukan bab khusus tentang akhlak. Mengapa demikian? Hal
ini disebabkan akhlak tidak berpengaruh langsung terhadap tegaknya suatu
masyarakat. Masyarakat tegak dengan peraturan-peraturan hidup, serta
dipengaruhi oleh perasaan dan pemikiran yang merupakan kebiasaan umum, hasil
dari pemahaman hidup yang dapat menggerakkan masyarakat. Karena itu, yang
menggerakkan masyarakat bukanlah akhlak, melainkan peraturan-peraturan yang diterapkan
di tengah masyarakat, pemikiran-pemikiran, dan perasaan-perasaan yang ada pada
masyarakat. Akhlak sendiri adalah buah dari pemikiran, perasaan, dan penerapan
aturan.
Ketika akhlak tidak mampu menegakkan
dan menggerakkan masyarakat, bolehkah kita mendakwahkan akhlak di tengah-tengah
masyarakat?
Tanpa ragu lagi kita mengatakan bahwa
berdakwah kepada akhlak adalah tidak boleh. Hal ini karena akhlak merupakan
hasil dari pelaksanaan perintah dan larangan Allah Swt. yang dapat dibentuk
dengan cara mengajak masyarakat kepada akidah dan melaksanakan Islam secara
sempurna. Di samping itu, mengajak masyarakat pada akhlak semata, dapat
memutarbalikkan persepsi Islam tentang kehidupan dan dapat menjauhkan manusia
dari pemahaman yang benar tentang hakikat masyarakat dan pembentukannya.
Bahkan, dapat membuat manusia salah menduga bahwa keutamaan dan kelebihan
individu dapat membangun umat dan masyarakat, selain mengakibatkan kelalaian
dalam melangkah menuju kemajuan hidup.
Dengan demikian, dakwah seperti ini akan
memunculkan anggapan bahwa dakwah Islam itu hanya pada akhlak semata, kemudian
bisa mengaburkan gambaran utuh pemikiran Islam. Lebih dari itu, dapat
menjauhkan masyarakat dari satu-satunya metode dakwah yang dapat menghasilkan
penerapan Islam, yaitu tegaknya Daulah Islam di muka bumi.
Bukankah akhlak tetap merupakan bagian
dari pengaturan interaksi manusia dengan dirinya, lalu mengapa tidak ada sistem
khusus bagi akhlak?
Hal ini dikembalikan pada realitas
bahwa Syariat Islam pada saat mengatur hubungan manusia dengan dirinya melalui
hukum syara’ yang berkaitan dengan sifat akhlak, tidak menjadikannya sebagai
aturan tersendiri seperti halnya aturan ibadah dan muamalah. Akan tetapi,
akhlak dijadikan bagian dari perintah dan larangan Allah, untuk merealisasikan
nilai khuluqiyah (nilai-nilai akhlak).
Seorang Muslim ketika menyambut seruan
Allah untuk berlaku jujur, maka dia akan jujur. Apabila Allah memerintahkannya
untuk amanah, dia akan amanah. Begitu pula apabila Allah melarang curang dan
berbuat dengki, dia akan menjauhinya. Dengan demikian, akhlak dapat dibentuk
hanya dengan satu cara, yaitu memenuhi perintah Allah Swt. untuk merealisasikan
akhlak, yaitu budi pekerti luhur dan amal kebajikan. Sifat-sifat ini muncul
karena hasil perbuatan, seperti sifat ‘iffah (menjaga kesucian diri) muncul
dari pelaksanaan shalat.
Sifat-sifat tersebut juga muncul karena
memang wajib diperhatikan saat melakukan berbagai kegiatan interaksi, seperti
jujur yang harus ada saat melakukan jual beli. Meski aktivitas jual beli tidak
otomatis menghasilkan nilai akhlak karena nilai tersebut bukan tujuan dari
transaksi jual beli.
Jadi, sifat ini muncul sebagai hasil
dari pelaksanaan amal perbuatan atau sebagai perkara yang mesti diperhatikan
saat melakukan satu perbuatan. Karena itu, seorang Mukmin dapat memperoleh
nilai rohani dari pelaksanaan shalatnya, dalam contoh lain, dia memperoleh
nilai materi dalam transaksi perdagangannya, serta pada saat yang sama telah
memiliki sifat-sifat akhlak yang terpuji.
Seperti apa sifat akhlak yang baik dan
yang buruk dalam pandangan syara’?
Allah Swt. telah memerintahkan jujur,
amanah, punya rasa malu, berbuat baik pada kedua orang tua, silaturahmi,
menolong orang dalam kesulitan, dan sebagainya. Semuanya merupakan sifat akhlak
yang baik dan Allah Swt. menganjurkan kita terikat dengan sifat-sifat ini.
Sebaliknya, Allah Swt. melarang sifat-sifat yang buruk, seperti berdusta,
khianat, dengki, durhaka, melakukan maksiat, dan sebagainya.
Bagaimana menanamkan sifat-sifat baik
ini pada jiwa individu dan masyarakat?
Menanamkan sifat-sifat baik pada
masyarakat dapat dicapai dengan mewujudkan perasaan-perasaan dan
pemikiran-pemikiran Islam. Setelah hal ini terwujud di tengah-tengah
masyarakat, maka pasti akan terbentuk pula dalam diri individu-individu.
Bagaimana hal itu bisa diwujudkan?
Sebagai langkah awal, harus ada
kelompok atau jamaah Islam yang mengamalkan Islam secara keseluruhan, tidak
hanya menganjurkan untuk terikat pada akhlak semata. Individu-individu yang ada
dalam jamaah itu merupakan satu kesatuan, bukan individu yang terpisah-pisah.
Mereka mengemban dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, mewujudkan pemikiran
dan perasaan Islam. Apabila demikian, seluruh anggota masyarakat akan memiliki
akhlak, setelah mereka berbondong-bondong kembali kepada Islam.
Penjelasan ini menjadikan kita bertanya
tentang sifat-sifat yang harus menjadi unsur utama individu?
Ada empat sifat yang wajib dimiliki
serta dicapai oleh individu, yaitu sifat-sifat yang menyangkut masalah akidah,
ibadah, muamalah, dan akhlak. Empat hal ini tidak boleh dipisahkan pada pribadi
seseorang sehingga harus selalu lengkap dan sempurna. Sekalipun hanya satu dari
unsur itu yang hilang, maka tidak akan tercapai kesempurnaan pribadi individu.
Apabila kita membaca al-Quran pada surat Luqman (31) ayat 13-19 yang dimulai
dengan ayat, “Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat memberinya
pelajaran, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya
mempersekutukan Allah itu adalah benar-benar kezaliman yang besar’ dan diakhiri
dengan ayat, “Berbuat sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkan suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai”. Kita akan mendapati
bahwa keempat unsur itu ada di sana.
Demikian pula dalam surat al-Furqan
(25) ayat 63, “Hamba-hamba yang baik dari Robb yang Maha Penyayang itu (ialah)
orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati. Ketika orang-orang
jahil menyapa mereka, mereka ucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”,
hingga ayat 76, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan martabat yang
tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan
penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya. Surga
itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman”.
Kita dapati pula dalam surat al-Isra
(17) saat kita membaca ayat 23, “Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu dan bapakmu
dengan sebaik-baiknya” hingga ayat 37, “Janganlah kamu berjalan di muka bumi
ini dengan sombong karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus
bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu
kejahatan yang amat dibenci di sisi Rabbmu”. Semua ayat yang ada pada ketiga
surat tersebut merupakan satu kesatuan yang sempurna dalam menonjolkan
sifat-sifat yang beraneka ragam, yang membentuk identitas seorang Muslim dan
menjelaskan kepribadian Islam yang khas sehingga berbeda dengan umat yang lain.
Apa yang menarik perhatian kita saat
membaca semua ayat tadi?
Kita perhatikan bahwa sifat-sifat
akhlak merupakan perintah dan larangan Allah Swt. Sebagian isi ayat-ayat
tersebut merupakan hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah, sebagian lainnya
berkaitan dengan ibadah, muamalah, dan akhlak. Dapat dilihat pula, bahwa isinya
tidak terbatas hanya pada sifat-sifat akhlak, tapi juga mencakup akidah,
ibadah, muamalah, di samping akhlak. Sifat-sifat inilah yang dapat membentuk
kepribadian Islam yang khas. Membatasi pengambilan hukum hanya pada salah satu
dari empat unsur ini, seperti akhlak misalnya, berarti meniadakan terbentuknya
kepribadian yang sempurna dan kepribadian yang Islami.
Untuk mencapai tujuan akhlak, hendaklah
dilandaskan pada fondasi rohani, yakni akidah Islam, serta sifat-sifat ini
harus dilandaskan pada akidah semata. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak
akan memiliki sifat jujur semata-mata karena kejujuran itu sendiri, tetapi
karena Allah Swt. memerintahkan demikian. Meskipun demikian, dia tetap
mempertimbangkan terwujudnya nilai akhlak ketika berbuat jujur. Dengan
demikian, akhlak tidak semata-mata wajib dimiliki karena dibutuhkan oleh
manusia, tetapi ia merupakan perintah Allah.
Kemudian, sifat akhlak ini adakalanya
diperoleh melalui ibadah, sebagai pelaksanaan dari perintah Allah Swt. dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS
al-Ankabut [29]: 45). Wajib pula diperhatikan perolehan sifat akhlak dalam
muamalah, sesuai dengan sabda Rasul saw., “Agama itu adalah muamalah”. Di
samping itu, akhlak merupakan sekumpulan perintah dan larangan Allah Swt. yang
bisa mengokohkan jiwa seorang Muslim.
Kita melihat sifat-sifat tersebut
menyatu satu sama lain, bagaimana kita memilah-milahnya dari unsur-unsur
kepribadian seorang Muslim yang lainnya?
Memang benar, sifat-sifat akhlak
menyatu dengan aturan hidup yang lain yaitu akidah, ibadah, dan muamalah.
Namun, akhlak tetap merupakan sifat-sifat yang berdiri sendiri. Misalnya,
seseorang beriman, tetapi dia berdusta sehingga kita melihat bahwa Rasul telah
memerintahkan seorang Mukmin untuk menghiasi diri dengan sifat jujur. Terkadang
pula seseorang itu melakukan shalat dan melakukan penipuan.
Karena itu, kita melihat Rasulullah
memerintahkan Muslim untuk menjauhi perbuatan penipuan dengan sabdanya, “Bukan
termasuk golongan kami orang yang suka menipu” atau dalam riwayat lain beliau
bersabda, “Barang siapa yang melakukan penipuan tidak termasuk golongan kami”.
Kadang seseorang itu berbuat khianat, karena itu kita melihat Rasulullah sangat
menekankan seorang Muslim untuk memegang amanah ketika bekerja sama dalam
perdagangan. Dengan demikian, sifat-sifat akhlak yang menyatu dengan aturan
hidup lainnya, pada saat bersamaan merupakan sifat yang terpisah dari setiap
aturan.
Disatukannya akhlak dengan aturan hidup
lainnya, maksudnya Islam menghendaki adanya jaminan pembentukan pribadi Muslim
yang saleh dan sempurna di atas dasar rohani, yang merupakan pemenuhan terhadap
perintah Allah Swt. atau menjauhi larangan-Nya. Hal itu bukan berdasarkan pada
manfaat atau mudharat yang ada pada sifat-sifat tersebut.
Inilah yang menjadikan seorang Muslim
mempunyai sifat akhlak yang baik secara terus-menerus dan konsisten, selama dia
berupaya melaksanakan ajaran Islam dan selama tidak memperhatikan aspek
manfaat. Akhlak tidak ditujukan semata-mata untuk kemanfaatan. Bahkan,
pandangan terhadap manfaat itu harus dijauhkan.
Tujuan akhlak adalah menghasilkan nilai
akhlak saja, bukan nilai materi, nilai kemanusiaan, atau nilai kerohanian.
Selain itu, nilai-nilai ini tidak boleh dicampuradukkan dengan akhlak agar
tidak terjadi kebimbangan dalam memiliki akhlak beserta sifat-sifatnya. Perlu
diperhatikan di sini, nilai materi harus dijauhkan dari akhlak karena akan
menghasilkan pelaksanaan akhlak yang hanya mencari keuntungan. Justru, hal ini
akan sangat membahayakan akhlak.
Ini semua dikaitkan dengan pembentukan
akhlak pada individu, kemudian di mana peran akhlak dalam membentuk masyarakat?
Akhlak adalah salah satu dasar bagi
pembentukan kepribadian individu. Tentu saja secara pasti, akhlak sebagai salah
satu dasar pembentuk masyarakat tidak akan diabaikan begitu saja. Suatu
masyarakat tidak akan baik kecuali ketika akhlaknya baik. Namun, masyarakat
tidak akan menjadi baik hanya dengan akhlak, tetapi dengan dibentuknya
pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan Islami, serta diterapkannya aturan di
tengah-tengah masyarakat itu.
Unsur-unsur pembentukan masyarakat
berbeda dengan unsur-unsur pembentukan individu. Unsur pembentuk masyarakat
lebih luas sifatnya, sebagai contoh akidah Islam harus ada pada masyarakat,
demikian pula pada individu. Praktiknya di masyarakat tidak berhenti pada
aturan-aturan indivdu, tetapi lebih luas dari itu, yaitu mencakup seluruh
pemikiran Islam yang terkait dengan akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak.
Demikian pula pada masyarakat tersebut
harus ada perasaan-perasaan Islami yang terbentuk dari adanya kecenderungan,
keinginan, serta perasaan yang diatur dengan hukum halal dan haram. Kondisi
seperti ini akan membentuk adat istiadat dan kebiasaan yang Islami pada saat
seorang individu Muslim di dalam masyarakat tersebut akan menyibukkan diri
dengan kegiatan-kegiatan yang berguna bagi masyarakat umum. Di dalam masyarakat
harus ada penerapan aturan Islam yang mengatur interaksi antarindividu ataupun
kelompok.
Demikianlah, unsur pembentukan
masyarakat lebih luas dari unsur pembentukan individu, sekalipun unsur
pembentukan individu telah tercakup di dalamnya.
Dari sini, dapat dipastikan bahwa
perbaikan, individu harus senantiasa diikuti dengan perbaikan masyarakat. Hal
ini sebagaimana dapat pula dipastikan tidak akan terjadi perbaikan masyarakat
tanpa adanya perbaikan individu. Jadi, sekalipun di dalam suatu masyarakat
banyak orang-orang saleh, selama yang mengatur interaksi yang terjadi di
masyarakat itu bukan perasaan yang diarahkan oleh pemikiran dan aturan Islam,
maka tidak akan terjadi perbaikan individu dan masyarakat.
Dengan demikian, akhlak bukanlah unsur
pembentuk masyarakat, melainkan termasuk unsur pembentuk individu. Seorang
individu tidak akan menjadi baik karena akhlak semata, tetapi harus ada aturan
lain, yaitu akidah, ibadah, dan muamalah, ketika individu tersebut terikat
dengan semua aturan itu. Ini berarti, seseorang tidak diakui sebagai Muslim
apabila mempunyai akhlak yang baik, tetapi tidak meyakini akidah Islam. Begitu
pula sama halnya apabila individu itu berakhlak baik, tetapi melalaikan ibadah
atau bermuamalah yang tidak sesuai dengan hukum-hukum syara’.
Walhasil, supaya perbaikan individu
berjalan sempurna, diperlukan adanya hukum-hukum akidah, ibadah, muamalah, dan
akhlak yang berhubungan secara sinergis. Apabila salah satu darinya tidak ada,
perbaikan individu yang sempurna tidak akan tercapai. Hal ini menegaskan bahwa
tidak diperbolehkan melakukan dakwah yang diarahkan pada akhlak semata dalam
rangka perbaikan individu, sedangkan sifat yang lainnya diabaikan. Bahkan,
tidak diperbolehkan memfokuskan sesuatu sebelum perkara akidah selesai. Hal ini
sebagaimana harus juga diperhatikan hendaknya akhlak didasarkan pada akidah
Islam agar seorang Mukmin memiliki sifat-sifat yang didasarkan pada perintah
dan larangan Allah Swt.
Diskusi
Tanya: Apakah hubungan antara manusia
dengan penciptanya hanya diatur dalam hukum akidah dan ibadah?
Jawab: Benar, perintah dan larangan
Allah Swt. sangat banyak, tetapi yang mengatur hubungan langsung antara
Pencipta dengan makhluk hanya diatur dalam hukum akidah dan ibadah. Adapun
muamalah dan ‘uqubat mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta hukum
akhlak mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Tanya: Bagaimana Islam menyelesaikan
persoalan manusia secara integral dan tidak terpisah-pisah?
Jawab: Hal ini terjadi manakala akidah
Islam, yaitu keyakinan bahwa Allah Swt. adalah Pencipta manusia dan mengatur
seluruh aspek kehidupan dengan perintah dan larangan-Nya menjadi satu-satunya
asas dalam menyelesaikan persoalan manusia.
Tanya: Apakah dalam kitab-kitab fiqih
seluruh mazhab terdapat bab dan pasal yang menerangkan hubungan manusia dengan
tiga pihak, yaitu hubungannya dengan Pencipta, dengan sesamanya, dan dengan
dirinya sendiri?
Jawab: Benar. Di dalam kitab-kitab
tersebut pembahasan ini banyak diuraikan. Namun, penjelasannya mencakup
hubungan manusia dengan Pencipta dan hubungan dengan sesamanya. Tidak ada bab
dan pasal khusus yang menjelaskan akhlak karena akhlak merupakan bagian yang
tercakup dalam perintah dan larangan Allah.
Tanya: Mengapa tidak ada pembahasan
khusus tentang akhlak di dalam fiqih Islam?
Jawab: Fiqih (hukum) Islam meliputi
aturan interaksi yang terjadi di masyarakat. Adapun akhlak ditujukan untuk
individu dan tidak mempengaruhi pembentukan masyarakat. Keberadaan akhlak
sangat diperlukan dalam membentuk kepribadian individu sebagai bagian dari
masyarakat.
Tanya: Apakah ada kaitannya ‘urf
(kebiasaan) umum di masyarakat dengan akhlak?
Jawab: Ada. ‘Urf masyarakat terbentuk
dari pemikiran dan pemahaman yang digunakan dalam mengatur kehidupan. Sementara
itu, akhlak sebagai sifat dari seorang Muslim adalah hasil dari pemikiran dan
pemahaman sesuatu dalam kehidupan yang ada pada diri seorang Muslim. Jadi,
antara ‘urf dengan akhlak ada keterkaitan. Sebagai contoh, apabila dikatakan
sifat jujur sudah menjadi ‘urf dalam masyarakat Muslim, itu artinya masyarakat
tersebut telah diliputi suasana yang kuat dalam menjalankan perintah dan
larangan Allah. Misalnya pula, kebohongan telah menyebar di masyarakat sehingga
menjadi kebiasaan umum, ini merupakan hasil dari tidak adanya keterikatan
terhadap perintah dan larangan Allah di dalam masyarakat tersebut.
Tanya : Apa maksud dari dakwah menyeru
pada akhlak?
Jawab: Maksudnya, individu beserta
masyarakat diseru untuk terikat dengan akhlak dengan dugaan bahwa akhlak
merupakan unsur pembentuk individu dan juga masyarakat. Padahal, tidak mungkin
dalam kondisi apa pun, menjadikan akhlak satu-satunya unsur pembentuk masyarakat.
Tanya : Jika demikian, apa maksud dari
syair, “Sesungguhnya eksistensi umat mana pun ditentukan oleh akhlaknya,
apabila akhlak telah hilang, maka hilang pula umat”?
Jawab: Syair tersebut merupakan
ungkapan rasa sedih ketika melihat kondisi kaum Muslim yang meninggalkan
syariat. Diduga syair tersebut dipengaruhi oleh tuduhan-tuduhan asing terhadap
Islam bahwasanya umat terbentuk karena akhlak. Lalu, jika kaum Muslim
menghendaki eksistensi mereka, sudah seharusnya mereka mengikatkan diri dengan akhlak
terpuji dan menjauhi akhlak yang buruk.
Tanya: Namun, syair ini berbicara
tentang umat, bukan tentang masyarakat. Apa perbedaan umat dengan masyarakat?
Jawab: Antara umat dan masyarakat
terdapat perbedaan yang besar. Umat adalah kumpulan individu yang menganut
suatu akidah beserta aturannya tanpa melihat lagi penerapannya di dalam
kehidupan. Hal ini sebagaimana umat Islam yang memeluk Islam, tapi tidak
menerapkan aturan yang terpancar dari akidah Islam dalam kehidupannya. Adapun
masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup berdasarkan aturan akidah yang
dianutnya dan seluruh aspek kehidupannya ditata sesuai dengan aturan tersebut.
Akhlak tidak dapat membentuk umat dan masyarakat, akhlak tetap merupakan unsur
pembentuk individu.
Tanya: Untuk memperbaiki individu di
masyarakat, apakah cukup dengan akhlak saja, ataukah harus ada unsur-unsur
lain?
Jawab: Akhlak saja tidak cukup untuk
memperbaiki pribadi seseorang karena akhlak salah satu bagian dari kepribadian.
Untuk itu, seorang individu harus diberikan pemikiran akidah, ibadah, dan
muamalah–di samping akhlak–yang diperlukan dalam hidupnya bersama yang lain.
Tanya: Mengapa akhlak bukan termasuk
unsur pembentuk masyarakat? Padahal, individu-individu di dalam masyarakat
diminta untuk menghiasi perilakunya dengan sifat-sifat terpuji ketika
berinteraksi satu sama lain?
Jawab: Seorang individu ketika berbuat
jujur dalam bermuamalah, sesungguhnya dia telah berhias dengan sifat baik yang
telah Allah perintahkan. Sifat jujur ini menyatu dengan aktivitas perdagangan
yang ia lakukan dalam mencari manfaat dan keuntungan materi, serta ketika
mencari rizki dalam kehidupannya. Sifat jujur di sini bukan bagian dari
aktivitas perdagangan karena jujur tidak ada kaitannya dengan perolehan manfaat
materi yang menjadi tujuan aktivitas bisnis.
Adapun hubungan sifat jujur dalam
muamalah ini adalah bahwa Allah Swt. telah memerintahkan individu tersebut
untuk bermuamalah secara benar dan jangan melakukan kecurangan. Demikian pula
dalam aktivitas ibadah, ketika seseorang melakukan shalat dia akan melakukan
dengan ikhlas hanya untuk Allah, bukan untuk yang lain. Lalu, dia tidak akan
berbuat nifak (menjadi munafik). Dalam kondisi itulah akhlak yang baik menyatu
dalam setiap aktivitas kehidupan.
Jadi, ketika akhlak dilakukan dengan
anggapan bahwa akhlak adalah perintah Allah, maka seseorang akan meraih nilai
akhlak. Dengan demikian, akhlak–yang merupakan perintah dan larangan Allah–akan
menyebar dalam bentuk pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan aturan, bukan
sebagai bagian tersendiri yang terpisah, serta bukan suatu pengistimewaan.
Tanya : Selama akhlak memiliki posisi
dalam kehidupan individu ataupun masyarakat, lalu bagaimana dengan propaganda
atau slogan yang menyerukan perbaikan (akhlak) umat dan masyarakat?
Jawab: Ketika masyarakat dunia Islam
berinteraksi dengan masyarakat dunia lainnya, efek sampingnya mulai terasa pada
pemikiran-pemikiran Islam akibat adanya propaganda Barat tentang Islam dan kaum
Muslim. Seperti yang telah diketahui, gerakan-gerakan yang muncul sepanjang
masa pemerintahan Islam sebelum khilafah runtuh, memfokuskan dakwah kepada
masyarakat, serta tidak terlihat menyeru kepada perbaikan akhlak, kecuali
setelah hancurnya tatanan kehidupan masyarakat disebabkan runtuhnya
kekhilafahan. Saat itu, dakwah mulai difokuskan pada perbaikan individu. Dakwah
seperti ini merupakan tindakan pembelaan terhadap Islam dan pemeluknya.
Dakwah seperti ini memiliki cara
pandang yang sama dalam memandang individu dan masyarakat sebagaimana cara
pandang Barat Kapitalis Demokratis, yang memandang kehidupan sarat dengan
kebebasan individu. Berbeda dengan pandangan Islam tentang masyarakat,
Kapitalisme memandang masyarakat sebagai kumpulan individu. Adapun Sosialisme
memandang tidak ada kebebasan bagi individu, pilihan individu dalam Sosialisme
hanyalah menjadi gigi atau jari-jari dalam roda. Perang pemikiran yang
disusupkan ke negeri-negeri Islam melalui cara berpikir kaum Muslim, telah
menjadikan mereka terbelenggu dengan pemikiran individualis demokratis.
Akhirnya, mereka tidak memperhatikan
dakwah pada Islam, yang mereka pikirkan adalah dakwah Individualistis. Karena
akhlak merupakan salah satu unsur pembentuk individu dan tampak pada saat
individu tersebut melakukan ibadah dan muamalah, maka propaganda dakwah mereka
tujukan pada akhlak.
Demikianlah Barat dengan kebencian dan
kelicikannya menjauhkan para aktivis dakwah Islam–yang jumlahnya banyak dan
tinggi semangatnya, meskipun mereka berniat baik–dari hakikat dakwah Islam.
Saat ini, Barat telah berhasil melakukannya. Padahal, semestinya dakwah
dilakukan seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., yaitu dakwah
pada akidah Islam yang menjadi asas dalam pengaturan peradaban Islam.
Adapun akhlak wajib dipisahkan, yaitu
hanya sebagai unsur pembentuk individu, kemudian yang dijadikan sebagai unsur
pembentuk masyarakat, yaitu dalam bentuk pemikiran, perasaan, dan penerapan
aturan Islam. Dengan demikian, yang menjadi asas pembentukan masyarakat Islam
dan pengaturan interaksinya adalah akidah Islam dan bukan dengan akhlak Islam.
Alhamdulillah wa Syukrillah